source image from freepik.com |
Penyendiri. Jarang terlihat
berkumpul bersama teman. Orang mengatakan saya tidak bergaul. Asosial.
Saya bukannya merasa tak
membutuhkan orang lain di sekitar saya. Terus terang saya senang punya kawan,
paling tidak teman bicara. Berbagi banyak hal yang pernah dialami oleh
masing-masing dari kami merupakan sesuatu yang setiap saat ingin dilakukan.
Hanya saja, belakangan saya menyadari bahwa saya lebih sering sendiri. Seorang
diri dalam banyak hal. Apakah saya terbiasa mandiri, tidak juga. Namun saya
berpikir lebih jauh mengenai kapasitas tiap orang tentu berbeda-beda, dan itu
merupakan alasan bagi kehidupan untuk menempatkan kita dalam peranannya
masing-masing.
Saya masih dapat mengingat berapa
banyak orang yang betul-betul menjadi teman dalam hidup saya. Dari kala saya
belia, hingga di usia saya sekarang, jumlah teman yang saya miliki betul-betul
tak melebihi hitungan jari. Jelas kondisi tersebut mencengkeram saya dalam rasa
sepi. Sunyi dan rasa sepi terus menerus hadir mengisi waktu saya.
Orang mengenal saya sebagai sosok
yang kaku. Kurang luwes dan cenderung membicarakan hal-hal serius. Saya juga
kurang nyaman menjadi sorotan orang lain. Komentar yang sempat saya dapat
terdengar bernada cemoohan. Seolah dalam diri saya terdapat sesuatu yang
berbeda namun hal itu tidak dapat diterima oleh yang lain. Padahal ada ungkapan
begini, ‘hanya karena berbeda, bukan berarti hal itu keliru.’ Maka, seiring
bertambahnya usia, meski sempat saya menyesalkan dan mengeluhkan keadaan saya
ini, perlahan-lahan saya pun merasa lebih baik mengatakan bahwa memang inilah
saya dan kepribadian saya.
source image from freepik.com |
Maaf, ini bukan curhatan. Ini lebih
tentang bagaimana saya berusaha memahami diri saya sendiri. karena memang yang
harus mengerti diri sendiri, ya bukan orang lain. Setuju?
Memang dalam hidup ini, membina
hubungan dengan banyak orang sudah menjadi keharusan. Siapa coba yang bisa
hidup sendiri? akan tetapi, dengan tetap mengenal batasan terhadap apa yang
menjadi pandangan kedepan kita secara pribadi, mengenai apa yang ingin kita
raih di waktu mendatang sudah tentu mengarahkan kita untuk selektif memasuki
suatu hubungan. Pertemanan ataupun relasi lainnya.
Dalam hal apapun, selalu ada sisi
baik dan sisi buruk. Siapapun pasti mengerti mengenai itu.
Kalau bagi saya, memilih teman
bukan gaya saya. Membatasi pertemanan mungkin iya. Memahami ini sebenarnya
membutuhkan waktu bagi saya, dari merenungkannya. Termasuk memahami dan
kemudian menerima bahwa sepi menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari
hari-hari yang saya jalani. Toh bukannya saya tak punya sosok
teman dalam hidup. Dan jika harus mengeluhkan sepi yang saya anggap menyiksa
saya, saya berusaha mengingat bahwa kadang-kadang orang mengalami rasa tak
nyaman bahkan dikarenakan ia tidak mendapatkan kesunyian dalam hidupnya.
Jadi, hidup memang soal menakar
banyak hal. Disatu sisi siapapun menginginkan dikelilingi oleh orang lain,
disisi lain pun orang juga membutuhkan keadaan hanya bersama dirinya sendiri.
sunyi dan menyepi. Jauh dari keramaian.
Pemahaman bahwa hidup yang harus
menakar, atau berimbang, saya dapat dari mendalami linguistik. Untuk dicatat,
saya bukan pakar, ilmu saya juga tidak terlampau dalam. Ini hanya logika anak
jurusan bahasa.
Jadi begini, tiap kosakata
memiliki definisi. Tiap bahasa memiliki perbendaharaan kata yang murni berasal
dari penuturnya. Hal tersebut dikarenakan adanya fenomena yang terjadi, juga
ada objek yang berasal dari tempat dimana suatu bahasa digunakan. sehingga kata
menjadi bentuk penamaan untuk masing-masing fenomena, ataupun objek yang ada.
Kasih contoh aja kali ya.
Kata ‘Ibu’, dalam bahasa
Indonesia, adalah penamaan untuk perempuan yang melahirkan, membesarkan, dan
merawat kita. Kata tersebut juga muncul variasinya di setiap bahasa yang ada
didunia ini. Mengapa? Karena sosok tersebut memang ada di seluruh dunia.
Memangnya ada tempat yang tidak mengenal sosok ibu? Hampir dipastikan tidak.
Sementara, saya ambil contoh, kata
‘Orangutan’, ‘Komodo’, ‘Rambutan’ dan ‘Durian’. Keempat kata tersebut merupakan
objek yang familiar bagi masyarakat Indonesia. Namun, tidak di tempat lain.
Soalnya memang hanya ada di Indonesia. Bandingkan dengan ‘Kucing’, ‘Anjing’, ‘Apel’,
‘Anggur’, yang seperti kata ‘Ibu’, juga memiliki sebuatnnya sendiri di tiap
bahasa.
Lantas apa hubungannya dengan
pembahasan diatas ialah bahwa banyak setiap fenomena ataupun objek yang dapat
dibahasakan dan ditemui, katakanlah di negara ini, besar kemungkinannya
fenomena dan objek tersebut memang menjadi bagian dari kehidupan disini.
Maka kembali pada soal kehidupan
yang berimbang. Kondisi seperti keramaian dan kesunyian keduanya jelas adalah dua kata yang murni berasal dari bahasa Indonesia.
Juga memiliki istilah yang berbeda di bahasa lainnya. Sebab, di satu titik,
seseorang akan mendpatkan kondisi tersebut, dengan ataupun tanpa diinginkan. Keramaian
dan kesunyian bisa terjadi dimanapun juga dirasakan dan dialami oleh siapapun.
source image from freepik.com |
Inilah yang saya pahami dan
membuat saya akhirnya mampu berdamai dengan keadaan-keadaan tersebut. Walau toh
pada akhirnya saya pun pernah merasa kesepian juga. Tetapi saya lebih mencoba
menerimanya. Saya tahu ada yang bisa saya lakukan dengan semua keadaan-keadaan
tersebut. Saya anggap dengan kesunyian, saya memiliki ruang dan waktu untuk
mengolah pikiran saya. Bukan hal yang sepenuhnya jelek jika hidup ini
dihabiskan dengan menyendiri, meskipun itu juga akan sangat berdampak buruk
bila melampaui batas. Oleh karenanya, mengingat batasan dan menyadari apa yang
dalam hidup ini ingin kita raih akan membantu kita menyikapi kapan ramai atau
sunyi itu kita butuhkan. Jadi bagi saya,
wawasan yang saya miliki mengenai bahasa lah yang banyak membantu saya melihat
dengan banyak sudut pandang. Termasuk mengenali diri saya sendiri dan apa yang
saya inginkan dalam kehidupan saya.
Oke. Cukup untuk kali ini. Masih
banyak yang akan saya tuliskan lagi. Sampai jumpa.
No comments:
Post a Comment