Linguapreuner Indonesia

mengabadikan perenungan dalam kata-kata.

Thursday, April 18, 2019

Mengiklankan Produk? Pahami Empat Sisi Konsumen Ini


Setiap bisnis tentu memiliki produknya masing-masing. Apakah itu barang atau jasa tergantung dari jenis bidang bisnisnya. Sebelum membuat sebuah produk, pelaku bisnis pastinya perlu memikirkan beberapa hal, salah satunya adalah sasaran produk. Yakni kepada siapa produk tersebut ditawarkan, dan dengan cara apa. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai pemasaran dalam dunia kewirausahaan.


Mengapa perlu ada pemasaran? Sudah pasti karena produk yang dibuat harus dikenal oleh konsumen. Sebuah produk yang cara pemasarannya efektif dan dilakukan dengan  maksimal akan lebih berpeluang untuk mendapat sambutan positif dari konsumen. Sehingga dengan segera memperoleh kepercayaan dari konsumen serta mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Hasilnya, target penjualan yang dicanangkan pun akan tercapai dan perusahaan mampu untuk mengembangkan diri menjadi semakin luas. 

Namun, dibutuhkan kemampuan serta pengetahuan tentang bagaimana mempersiapkan pemasaran sebuah produk. Mulai dari sarananya, kemasannya, serta teknis pelaksanaanya. Kreatifitas pun diperlukan dalam membuat sebuah bentuk pemasaran yang memikat untuk para konsumen.

Salah satu yang dijadikan bentuk pemasaran adalah iklan. Hari-hari ini, begitu banyak iklan yang sering kita saksikan apakah di ruang publik, di tempat-tempat umum, di media massa, media cetak, media elektronik, hingga media sosial. Gencarnya persaingan membuat tiap pelaku usaha harus jeli memperhatikan dan membuat iklan produknya semenarik mungkin.

Oleh karena itu, salah satu yang menjadikan iklan menarik dan memikat adalah cara menyampaikannya. Baik secara verbal maupun non-verbal, disamping pengemasannya secara visual. Membahasakan sebuah produk akan lebih efektif dengan kata-kata yang sesingkat mungkin, namun mampu memberi kesan pada konsumen tentang produk yang sedang diperkenalkan. Informasi yang terlalu banyak akan memberikan kejemuan sehingga produk gagal mendapatkan respon positif dari konsumen.

Selain itu, ada salah satu dari empat sisi yang harus digugah dan dapat dicerminkan dari produk yang diiklankan untuk semakin meyakinkan konsumen. Empat sisi tersebut ialah  fear (rasa takut), fun (kegembiraan), empathy (empati), dan hope (harapan). Berikut ini pembahasannya.

  
FEAR (RASA TAKUT)
Dalam membantu meningkatkan penjualan, beberapa perusahaan mencoba mengemas produk mereka dengan memainkan isu-isu yang berhubungan dengan ketakutan yang mungkin dimiliki oleh konsumen. cara seperti ini umumnya dilakukan dengan menunjukkan apa konsekwensi terburuk dari sebuah isu, apa dampak terbesarnya, dan kemudian menjadikan produk yang ia buat sebagai sebuah jalan keluar atas pemasalahan tersebut. Contohnya produk-produk kesehatan yang sering muncul di televisi. Didalam iklan ditampilkan banyak sekali kondisi kesehatan yang apabila dibiarkan akan berdampak buruk pada kualitas kehidupan. Kemudian produk kesehatan yang ditawarkan pun muncul sebagai solusinya, dengan sedemikian rupa membentuk anggapan kepada konsumen bahwa produk inilah jalan keluar dari masalah kesehatan yang dialami. Tentunya strategi ini dilakukan dengan memainkan isu yang krusial dan akan terus membutuhkan penyelesaian. Atau bagaimana sebuah produk kosmetik yang menggunakan isu ‘halal’ dalam iklannya, sebagai upaya untuk meningkatkan penjualan. Sehingga melahirkan sebuah slogan persuasif seperti ‘halal dari awal’ untuk mencerminkan bahwa pentingnya memakai produk halal yang sudah teruji akan membuat konsumen tidak perlu mengkhawatirkan konsekwensi yang timbul atas keraguan antara halal dan tidak. Dengan diksi yang betul-betul gampang diingat.


FUN (KEGEMBIRAAN)
Apakah kegembiraan menjadi sisi penting dalam membentuk sebuah iklan produk? Jawabannya tentu saja. Tiap orang tentulah mempunyai gaya hidup, dan gaya hidup merupakan sesuatu yang lebih dekat dengan kegembiraan. Bisa juga dihubungkan dengan hal-hal seru atau cerminan dari sebuah identitas diri. Dalam mengemas produk dengan memberikan sisi kegembiraan, beberapa produk berlomba-lomba untuk membuat kesan familiar terhadap konsumen. Ini yang bisa dilihat dari iklan mi instan, yang dimasa sekarang memiliki variasi rasa yang begitu banyak. Seakan menunjukkan bagaimana rasa yang ditawarkan adalah sesuatu yang menjadi kesukaan masing-masing konsumen. Mencirikan sesuatu yang terasa personal sehingga muncul kesan produk yang berkarakter dan sejiwa dengan konsumennya. Puncaknya, slogan dengan menyisipkan kata ‘seleraku’ menjadi pilihan kata yang akan tertanam dengan baik dalam pikiran konsumen, sehingga kata tersebut akan mengingatkan kembali pada produk mi instan favoritnya. Hal yang serupa dilakukan oleh produk-produk makanan dan minuman ringan, dan berbagai hal penunjang gaya hidup lainnya.


EMPATHY (EMPATI)
Untuk persoalan empati, iklan produk dikemas dengan menyampaikan terkait persoalan sosial. Mengajak konsumen untuk membangun jiwa sosialnya dan keinginannya untuk saling berbagi dengan sesama. Maka iklan produk yang menggunakan sisi hope untuk menarik empati konsumen, dibuat dengan mengusung sebuah program donasi. Dengan kata-kata seperti ‘anda turut berdonasi pada pendidikan di wilayah terpencil’. Sehingga selain dapat meningkatkan penjualan produk, akan muncul kesan bahwa perusahaan tersebut memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah sosial.


HOPE (HARAPAN)
Yang terakhir adalah harapan. Yakni apa yang menjadi ekspektasi konsumen terhadap produk yang diiklankan. kemasan iklan umumnya hampir mirip seperti fear. Yang membedakan adalah, sisi fear lebih mendalam menunjukkan sebuah isu dan akibat yang ditimbulkannya, sedangkan hope lebih menggambarkan apa yang akan didapat dengan memakai sebuah produk yang diiklankan. Dengan menyertakan hal-hal yang menjadi keunggulan produk tersebut, produsen mencoba memberikan kesan bahwa produknya memiliki sebuah kualitas yang membuat konsumen tidak akan kecewa menggunakan produknya. Kenyamanan, harga terjangkau, ataupun kualitas terbaik menjadi kata-kata yang akan selalu disertakan dalam pengiklanan produk. Masing-masing produk berlomba-lomba memenangkan hati konsumen dengan klaim tersebut. Sebab itulah yang menjadi harapan mendasar dari konsumen terhadap produk barang maupun jasa.

Maka dari itu, menciptakan kalimat-kalimat enegik, powerful serta mampu menarik hati konsumen adalah tantangan untuk seorang copywriter menginformasikan produk yang akan diiklankan dengan tujuan peningkatan penjualan serta membuat produk lebih dikenal luas.

Sunday, April 14, 2019

Apa Karena Pilpres, Netizen Harus Berkomentar Tanpa Ada Penghormatan Pada Bahasa?


Saya kok rasanya makin jengah sama kondisi jelang pemilu yang semakin dekat. Khususnya jelang pilpres. Tinggal nunggu hari, kan? Ya sebagai warga negara Indonesia, harapan saya tentulah yang terbaik buat pemerintahan ke depannya. 

Saya ngomong tulus loh, bukan gara-gara si anu si itu. Musti ini. Musti itu.
Eh kok, kayak lagu zamrud.

pemilihan umum

Jadi gini, saya kok merasakan skhir-akhir ini, atau saya yang kurang update, kalau adu opini di media sosial terhadap para kandidat pilpres tampak semakin santer, semakin gencar, dan semakin memanas. Opini yang sedang berusaha dibangun umumnya dikemas lewat tulisan, video, foto, tautan halaman situs berita, meme, sampai tangkapan layar ponsel pintar. Memang sih, ntar lagi pilpres, dan sepertinya pilpres itu benar-benar menjadi kontestasi. Sehingga kedua belah pihak kudu mengerahkan segala daya dan upaya. Semuanya demi sebuah kemenangan. 

By the way pemilu itu, kontestasi, kompetisi, ajang, atau penentuan nasib bangsa ke depannya sih? Hayoo yang mana hayoo…

Eniwei gini, okelah postingan itu sebagai salah satu cara seorang pendukung mengekspresikan dukungannya terhadap kandidat favorit. Toh itu juga bagian dari ikhtiar siapa tahu bisa bikin yang lain kepincut juga. Hanya yang disayangkan kalau buat saya, adalah kolom komentar yang dipenuhi beragam reaksi dari para netizen. Bagi saya secara pribadi, ada yang benar-benar perlu dibenahi dari sikap netizen Indonesia berkomentar.

Dalam sebuah postingan sebut sajalah acara kampanye salah satu paslon, agendanya doa bersama. Acaranya riuh plus rame banget karena para pendukung yang hadir ingin melihat langsung sosok paslon yang dielu-elukan itu.

komentar netizen

Postingan macam gitu pasti banyak yang gatel pengen komen dong. Utamanya yang dari kubu sebelah. Pendukung kandidat satunya. Nggak pake lama deh sejak postingannya dibagikan, langsung bakal muncul komentar-komentar bernada pedas, kritikan tajam, olok-olok, sehingga tak tampak cerminan  demokrasi yang dewasa dari situ. Sebaliknya, hanya sekelumit saja yang akan memberi komentar dengan bahasa kalem, lebih beradab, serta lebih berbudaya.

Ya paling-paling pendukung paslon yang ada di postingan. Biar keliatan tenang.  

Ini membuat saya heran apakah mesti segitunya berkomentar. Maksud saya, kita boleh saja menjadi pendukung salah satu paslon. Tapi itu tidak otomatis merasa tidak suka pada satu paslon dong? Seakan meletakkan dukungan didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka. Kan, tidak berimbang gitu loh. Boleh sajalah mendukung satu kandidat, tapi ya biasa aja sama kandidat satunya. Ini kan kesan yang saya tangkap dari komentar-komentar di medsos tersebut. Membuat saya dilanda kebimbangan mau memihak yang mana, gara-gara para pendukung tiap kandidat yang begitu menggebu atas dasar perasaan, sampai yang lebih sering tampak bukannya citra positif malah keburukan demi keburukan dari masing-masing kandidat itu. Aib. Nyalon cuma buat ditunjukkin aibnya, mending ikut acara K*rma deh. Tambah lagi situasi jelang pilpres pun jadi sensitif. Situasi sensitif itu jangan-jangan buah komentar yang provokatif, bukannya semata karena tendensi dukungan.  Be grown up dong, gaes.  

Jadi tiap iseng baca-baca komentar postingan seputar pilpres di medsos, saya pun udah bisa nebak duluan pasti ada yang nada-nadanya sumbang dari netizen, minim, kalau boleh disebut tidak ada, olah bahasa yang greget, apalagi berbobot, ataupun pemilihan diksi yang lebih elegan untuk disampaikan. Justru yang beginian misalnya ‘ih, nggak becus tu calon. ngabisin duit rakyat mulu.’ Atau ‘alah nggak bisa bikin rakyat sejahtera kok berani-beraninya mencalonkan diri. Situ waras?’. Atau gini ‘awas, dia keturunan itu tuh (sensor)…’, ‘tukang janji palsu’, ‘pengkhiat bangsa (wew)’, dan banyak lagi. apakah wajar seperti itu? Saya pikir tidak.

Cara berkomentar seperti ini seolah menunjukkan tidak adanya respek pada sosok yang akan memimpin di negeri ini. Yang nantinya menjadi harapan segenap bangsa untuk perubahan yang lebih signifikan. Pasalnya, lha masih calon loh udah segitu kerasnya komentar bahkan hujatan. Bagaimana sekiranya saat menjabat? Bisa habis tuh orang. Stres berkepanjangan.

mencari pemimpin

Negara ini luas, boi. Kita memang berharap sosok pemimpin yang mampu menghadirkan perubahan itu, namun menggantungkan semuanya pada seorang pemimpin tentu berat. Sedikit saja coba kita juga mencoba merasa perlu andil untuk menciptakan perubahan itu. Semata-mata agar tidak terlalu larut ketika merasa kecewa pada pemimpin yang menjabat. Belum ada sejarahnya pemimpin di negeri ini terbebas dari kritikan akibat ketidakpuasan masyarakatnya. Semua itu perlu dimulai. Ini bukan  soal siapa yang layak memimpin, tapi bagaimana kita juga bisa ikut berperan. Gitu kan?

Maka saya tekankan disini, saya bukannya pengen sok pinter, atau sok paling tahu, sok kritis apalagi baperan gegara ngerasa paslon favorit saya dibully mulu. Bukan, boi. Tapi karena komentar-komentar yang lazim tampak di medsos juga telah menunjukkan betapa kurangnya penghargaan terhadap bahasa Indonesia. bahasa tercinta ini. Masa nggak ingat dulu pernah ditanya, bahasa indonesia itu adalah?

Bahasa persatuan.
Lah kalau bahasa persatuan lantas buat apa dipake mencaci-maki, yang berpotensi memecah belah, hanya demi sebuah bentuk dukungan? Persatuan apa yang dikehendaki? Bersatu dalam kehancuran, gitu? Ih, gemes saya.

Seenggak-enggaknya, kalau memang berat mau ngasi respek ke kandidat yang tidak didukung, kasilah respek sama bahasa persatuan ini. Bahasa Indonesia ini. Cobalah menempatkan posisi bahasa dalam konteksnya yang sesuai. Karena menurut saya itulah cara menempatkan martabat bangsa ditempat yang sebenar-benarnya. Sekarang ini, bahasa semakin hancur pemaknaannya, semakin enggak karuan penggunaannya, ya gara-gara kita juga, si native speaker yang abai sama nasib bahasanya. Kita nggak perlulah mencederai lebih jauh nilai-nilai bahasa Indonesia, apalagi gara-gara musim pemilihan. Karena kalau sampai itu terjadi, identitas diri bangsa juga terancam pudar secara berangsur-angsur. Seperti fenomena yang terjadi pada waktu Ujian Akhir Nasional (UAN), ketika para siswa cenderung lebih keder sama mata ujian Bahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris. Lha kalau sudah begini, masih kurang tersindir apa. Kelihatan banget kalau kurang menghargai bahasa sendiri. tidak nasionalis. 

Saturday, April 13, 2019

Uninstall "Alasan Putus Dengan Pasangan" Biar Nggak Jagain Jodoh Orang



Menjalin hubungan asmara yang dapat bertahan untuk waktu yang lama, pastilah menjadi keinginan siapapun, tak terkecuali saya. Perasaan bahagia itu begitu membuncah kala  menghabiskan waktu dalam kebersamaan yang hangat, ditambah pasangan yang mampu untuk saling menjaga perasaan satu sama lain, serta keharmonisan yang terus dihadirkan kendati masalah dalam sebuah hubungan tak bisa dielakkan.

Supaya Tidak Jagain Jodoh Orang

Namun, sebenarnya bukan persoalan seberapa berat permasalahan yang dihadapi. Selama hal itu wajar dan tidak terlampau prinsipil, seperti persoalan orang ketiga, tidak ada toleransi untuk itu.  Melainkan mengenai bagaimana menyikapinya dengan berimbang tanpa perlu membuat kecewa perasaan pasangan yang nantinya mempengaruhi kualitas kasih sayang dalam diri pasangan kita maupun diri sendiri, membuatnya berubah sikap dan menurunkan kadar perasaannya.

Mungkin kita pernah sekali atau dua mendapatkan cerita dari teman, sahabat, keluarga, atau darimanapun mengenai hubungan asmara yang tidak dapat dilanjutkan lagi lantaran peliknya sebuah masalah. Meskipun menurut pandangan kita hal itu tampak sangat sepele, sedangkan bagi yang mengalami pada akhirnya tidak menemukan jalan keluar lalu sepakat memilih mengakhiri saja hubungan yang dengan susah payah sudah dibangun tersebut.

Mau bagaimana lagi. Mungkin itu keputusan terbaik untuk semuanya. Kemudian mulailah muncul dampak atas kegagalan menjalani sebuah hubungan. Seperti perasaan yang terluka dan tersakiti. Rasa kekecewaan mendalam, sakit hati yang berlarut-larut, sampai trauma dan memilih sendiri entah sampai kapan, menutup rapat-rapat perasaan itu. Situasi itu tentu begitu menyiksa dan bukan tidak mungkin mengganggu aktifitas pribadi sehingga hidup menjadi tidak stabil lagi. Sebab perasaan terdalamlah yang dipaksa menghadapi kenyataan pahit tersebut.

Yakinlah, tak ada orang yang berharap untuk gagal dalam hubungan asmaranya. Dengan semakin bertumbuhnya seseorang, seiring bertambahnya pula usia, akan tiba masanya ketika perasaan tersebut memerlukan tempat untuk berlabuh. Ada tujuan akhir dari sebuah perasaan berupa ikatan sakral pernikahan, hidup berumah tangga hingga akhir usia. Namun sebelum sampai pada jenjang setinggi itu, umumnya seseorang akan mencoba menjajal perasaannya sekali maupun berkali-kali ke sosok yang membuatnya jatuh hati. Mencoba untuk berada pada posisi dimana ia membangun sebuah kecocokan, belajar membangun komitmen, menata perasaannya, dan sebagainya.

Supaya Tidak Jagain Jodoh Orang

Walau ujung-ujungnya miris juga kalau mendengar ucapan “ternyata cuma jagain jodohnya orang”, akibat waktu lama yang dihabiskan dalam hubungan ternyata kandas tanpa tersisa, dan kalimat-kalimat senada lainnya lantaran hubungan berakhir, akan tetapi biarlah hal tersebut dijadikan pembelajaran untuk menjadi sosok yang lebih baik sampai pada waktunya bertemu dengan orang yang tepat.

Maka, pada tulisan ini saya ingin membahas satu hal yang perlu dipahami agar hubungan asmara dapat bertahan untuk waktu yang lama.

Singkat saja. Intinya cukup sederhana, yaitu setiap pasangan harus bisa mengesampingkan egonya masing-masing. Kedengaran sesederhana itu, mudah diucapkan, bahkan sudah terlalu sering dibahas dan membuatnya terkesan klise. Akan tetapi, mengesampingkan ego pada praktiknya bukanlah hal mudah. Membutuhkan pembiasaan dan pemahaman yang baik atas kondisi yang tengah dihadapi dalam sebuah hubungan yang sudah dijalani.

Begini, coba ingat-ingat pada saat sebuah hubungan masih tergolong baru dibangun. Ada nyala perasaan yang kuat disana. Pada tahapan baru memulai hubungan ini, jika boleh dibilang, tiap pasangan masih dalam upaya untuk saling mengenal lebih jauh dan menentukan arah hubungannya akan kemana, sehingga semuanya akan tampak begitu manis dan menyenangkan. Oleh karena itu wajar saja ketika ada satu dua masalah tapi tidak disikapi secara agresif, seperti tersinggung maupun emosional. Seorang pasangan masih mampu menahan gejolak emosi itu timbul dan memberi pemakluman-pemakluman terhadap masalah yang terjadi. Namanya masih baru.

Kemudian seiring berjalannya waktu, saat kejemuan berangsur-angsur muncul, ditambah lagi faktor diluar hubungan itu sendiri, seperti beban atas masalah pribadi, yang mempengaruhi kualitas perasaan kita terhadap pasangan. Pikiran  menjadi sedikit tealihkan untuk tetap rukun dan akur. Sehingga ada kemungkinan apabila terjadi persinggungan diantara keduanya, responnya pun bisa menjadi lebih agresif, tidak seperti saat awal-awal hubungan. Muatan emosi yang tercipta pada dasarnya bukan mutlak tercipta dari sikap dan perilaku pasangan saja, melainkan juga didorong oleh gejolak diri sendiri yang muasalnya dari keadaan sekeliling, yang semuanya dari luar hubungan yang dijalani bersama pasangannya.

Kondisi inilah yang harus disadari. Kondisi inilah yang butuh menjadi pengertian bersama sehingga sanggup menekan ego hanya demi harmonisnya hubungan ke depan.

Supaya Tidak Jagain Jodoh Orang

Kuncinya untuk tetap dapat berkesadaran dalam bertindak dan untuk mampu menekan luapan emosi tersebut adalah dengan mengingat-ingat bahwa bersama pasangan tentu ada hari baik yang pernah dijalani, pun hari buruk juga ada, namun itu semua tidak akan selamanya berlangsung. Terus ingat-ingat apa yang telah dilalui bersama, canda-tawa, caranya memberi perhatian, juga apa yang telah sama-sama dikorbankan dalam hubungan akan menjadi sumber daya tak terbatas ketika perasaan yang kadarnya terlah menurun perlu untuk dipompa agar naik kembali. Bagi saya, menciptakan kebahagiaan sederhana yang justru bisa didapatkan tiap hari bersamanya, jauh lebih penting ketimbang kebahagiaan besar yang mungkin sampai membuat terharu pasangan, namun sangat jarang didapatkan.

Sebagai penutup, ingin saya sampaikan bahwa status seseorang yang menjadi pasangan, tentulah berbeda dengan status seseorang sebagai teman, sahabat, maupun sekedar kenalan sambil lalu. Maka, dengan status tersebut harusnya membuat kita paham bagaimana membedakan cara berlaku pada masing-masing.  

Friday, April 12, 2019

Cerita Absurd Pernikahan Dan Mas Kawin Kekinian



Zaman gini nih pernikahan itu sepertinya bukan semata-mata soal komitmen. Bagi sebagian kalangan, sebut saja kalangan milenial, kreatifitas pernikahan juga dirasa perlu untuk menambah kesakralan prosesi yang seyogyanya hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Kayaknya sih. Maklumlah saya cuma pengamat, tanpa pengalaman empiris.
Alias jombloh. Umh..

Salah satu bentuk kreatifitas dalam pernikahan kekinian adalah keunikan mahar atau mas kawin yang diberikan saat prosesi akad. Mulai dari mas kawin sejumlah uang dengan nominal tanggal pernikahan, tanggal lahir, tanggal apalagi ya…. Banyak deh. Sampai ke benda-benda yang diluar dugaan. Sandal jepit, misalnya.

Ya meskipun gitu, paling oke memang kalau bisa menaklukkan hati si dia pakai Bismillah.
Sebenarnya mahar atau mas kawin ini adalah simbol bahwa si gadis telah diserahkan dari orang tuanya kepada mempelai pria yang meminangnya untuk menjalani kehidupan bersama, namun seolah ada gejolak kuat yang muncul dalam diri si pria untuk memberikan sesuatu yang ‘hanya diberikan olehnya seorang’ demi memastikan pernikahan tersebut akan lain dari pada yang lain.

Apa mungkin gara-gara perempuan yang suka bilang “semua lelaki sama saja”, ataukah ini bagian dari mengilhami lirik sebuah lagu lama yang isinya “tidak semua laki laki…. ” lanjutin sendiri ya.
Hmm.. misterius. Tapi baiklah. Membicarakan pernikahan di Indonesia memang selalu menyisakan cerita untuk dibahas. Kadang sampai tidak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi. Kita mungkin masih ingat tentang pernikahan anak remaja dengan seorang nenek-nenek. Ataupun pernikahan sepasang remaja yang usianya masih belasan tahun, yang menikah gara-gara takut tidur sendirian. Hingga pernikahan seorang pemuda Indonesia dengan gadis bule cantiknya bikin laki-laki lain nyindir suaminya. Emang dasar, mblo..mblo..

Tak ketinggalanlah pernikahan yang dihadiri mantan beserta reaksinya. Sabar ya, ntan.
Setiap tahunnya entah berapa banyak pernikahan berlangsung di Indonesia. Jumlahnya tentu agak banyak dibanding negara lain, males riset jadi main aman nih. Kalau sudah begitu, otomatis juga akan berbanding lurus dengan jumlah kelahiran.

Jumlah kelahiran berarti bertambahnya manusia di bumi Indonesia ini. Manusia tentu butuh tempat tinggal, sehingga lahan untuk membangun hunian pun harus tersedia. Kalau tidak, wah gawat, bisa tinggal sembarangan kita.

Juga, akibat dari semakin bertambahnya jumlah populasi, akan berdampak pada ketersediaan lahan, yang bukan hanya untuk tempat tinggal, ataupun untuk menghasilkan bahan pangan, tetapi juga untuk tempat peristirahatan terakhir, alias area makam.
Mulai serem nih.

Coba renungkan sejenak, ketersediaan lahan di Indonesia sepertinya semakin sempit dan terbatas. Di kota-kota besar misalnya, pembangunan semakin gencar dilaksanakan. Penduduknya pun kian padat. Alhasil, kalau ada peristiwa kematian, urusan lahan di kawasan pemakaman pun sampai harus menyewa segala. Padahal sejatinya penguburan jenazah merupakan perihal urgent (bacanya biasa aja) dan harus disegerakan. Kebayang jadinya semisal giliran saya di tahun berapa gitu, pas ajal menjemput dan wilayah Indonesia semakin dipadati oleh penduduk dan segala infrastrukrurnya. Aduuh, bisa-bisa enggak kebagian kuburan saya. Kaplingan abis, bos. Gimana malaikat mau minta pertanggung jawaban saya, coba? Saya ini kan….. iya sudahlah.


Atas keresahan inilah, saya pun menimbang-nimbang rencana pernikahan yang memberikan jaminan hidup dan juga di penghujung usia. Dengan segenap keyakinan, saya memutuskan untuk mempersembahkan mas kawin terbaik dengan hashtag ‘hanya saya yang bisa memberikannya’ versi saya.

Gagasan saya ini pun saya uji coba kan pada kekasih saya. Ternyata pada awalnya tidak semudah bayangan saya yaitu seketika ia luluh dan mendambakan saya karena dianggap sosok lelaki idaman.
Alih-alih itu, saya malah diputusin. Ugh, gara-gara hal lain, kok.
Curhat alert!

Saya pun kembali pada perenungan saya, berusaha untuk move on dan mencari penggantinya. Tentu saja yang bisa diajak pada hubungan yang lebih serius. Nikah bukan perkara murah, euy, di usia saya yang sudah tergolong ideal menurut undang-undang, saya mendingan lekas-lekas melepas status lajang, sebelum biayanya makin membengkak.

Seperti kata iklan properti hari minggu yang mentereng di stasiun tipi swasta, “harga naik hari senin”. Jangan-jangan biaya nikah juga naik tiap senin.
Saya kemudian memikirkan strategi untuk memastikan bahwa niatan saya untuk mengajak seorang gadis ke pelaminan berpotensi diterima lebih besar ketimbang ditolak. Caranya tentu saja, menaklukkan hati camer.

Dengan menggunakan cocoklogi tingkat dewa saya pun menghubung-hubungkan gagasan saya untuk menikah dengan mas kawin ‘spesial’ ala milenial. Mengapa saya optimis untuk menyampaikannya ke orangtua si pacar, ya karena mereka pasti tidak rela hidup anaknya bakal luntang-lantung, apalagi entar pas ajal menjemput. Pas!

Singkatnya, seorang gadis pun saya luluhkan hati saya dengan kalimat “aku tak punya kenyataan untuk dibagi, aku hanya punya mimpi untuk diwujudkan.” Modal ilmu kuliah di sastra dulu, rumusan-rumusan kalimat maut pun saya kuasai, kita pun jadian. Yes. Memang fakta kalau anak sastra itu calon lelaki idaman.

Lalu tibalah saat dimana saya harus sowan ke rumah si cewek, yang juga dalam rangka ketemu orangtuanya.

Setelah pertemuan pertama untuk sesi berkenalan, berbincang, tanya ini-itu, pada suatu pertemuan saya utarakan niat, bukan kebarat apalagi ketimur, untuk serius dengan anak perempuan kesayangan bapak ibunya ini.

Seperti saya bilang tadi, kalau saya punya gagasan untuk pernikahan yang menjamin kehidupan di dunia hingga ajal menjemput, niatan tersebut saya uraikan pada mereka, plus mas kawin yang saya janjikan.

Namun, siapa sangka kalau ayahnya pun pandai berdiplomasi, dengan bilang “akan kami pertimbangkan dulu.”

Aghhh..
Usai obrolan itu, pacar saya bertanya
“Kamu bilang apa ke papa?”
“Aku bilang mau ngelamar kamu?”
Dia mesem-mesem tipis.
“Terus apalagi?” katanya
“Aku mau kasi mas kawin spesial ke kamu.” Jawab saya.
Matanya mulai berbinar dengan ekspektasi.
“Ah, kamu so sweet. Mas kawin spesialnya apa?”
“Tanah.” Jawab saya singkat. Ia semakin sumringah.
“Kamu mau buatin aku rumah, ya? Senengnya akuh.”
Gantian saya yang kaget sama reaksinya. Karena cowok harus jujur, saya pun meluruskan jawabannya.

“Salah. Tanah buat mas kawin nanti, itu tanah untuk dibuatin pemakaman, kok.” Biar sedikit manis, saya pun menambahkan, “aku ingin dikubur disampingmu.”
Ceilee….

Segala jurus dan kelihaian saya pergunakan untuk memenangkan momen yang mulai tegang ini. Namun celakanya, pacar saya malah berkata lain, seperti kenyataan yang juga suka berkata lain.

“Kamu pengen aku cepat mati ya? Terus kamu bisa nikah lagi. Kamu emang dasar laki-laki. Kamu mau poligami, kan? Tapi kamu takut aku gak setuju, terus kamu bakal nyiapin rencana supaya aku mati, gitu? Dasar. Laki-laki itu sama aja.”
Jleb! Saya senewen dibuatnya.

Nampaknya,  masih lebih ampuh meminang calon istri dengan Bismillah.

Tuesday, April 09, 2019

Seperti Seorang Bayi, Kita Perlu Belajar Melangkah Menggapai Mimpi

Melangkah Menggapai Mimpi
Pengembangan Diri
Setiap orang pasti memiliki angan-angannya. Entah apapun itu, yang jelas angan-angan mampu memberikan energi untuk memberikan perasaan senang meskipun hanya dengan membayangkannya saja, lantas bagaimana jika itu menjadi nyata? Tentulah rasanya akan berkali-kali lipat lebih dahsyat. Semua orang mengangankan sesuatu yang berbeda-beda. Mimpi, cita-cita, ambisi, obsesi, yang tanpanya hidup menjadi seperti hilang arah tujuannya. Maka adalah hak siapapun untuk memiliki angan-angan, sebagaimana siapapun juga berkesempatan untuk mewujudkannya.

Sayangnya, semua itu ada tahapannya. Tidak ujug-ujug jadi. Inilah yang kemudian membuat banyak sekali orang patah dan gagal sebab merasa tak sanggup menjalani tiap-tiap tahapan itu. Ada penghalang, ada rintangan yang seringkali dijadikan alasan atas setiap kegagalan. Yang lebih parah lagi, ada yang belum setengah jalan sudah merasa tidak sanggup dan memilih untuk putar haluan. Mengejar hal lain. Merasa memiliki angan-angan yang keliru, kehilangan fokusnya, terjebak pada kejenuhan, dan semacamnya. Akhirnya segalanya serba tanggung. Hal yang serba tanggung sama saja artinya dengan sia-sia.

Itulah sebabnya setia dijadikan moto utama dalam asmara, biar tidak terjebak pada kondisi tanggung, putar arah, terus jadinya gantung. Ujung-ujungnya sendiri lagi. Eh. Santai sedikit ya.

Masalahnya begini kalau dari sudut pandang saya. Ada persoalan mendasar dari setiap kegagalan itu namun jarang sekali disadari. Pun kalau disadari, seseorang akan lebih meyakini faktor-faktor diluar diri sendiri. Seperti menyalahkan keadaan, menyalahkan minimnya dukungan, kehilangan semangat, jenuh, macam-macam asumsi akan dibangun beserta argumennya. Padahal yang dibutuhkan paling utama adalah kesiapan diri sendiri. Membangun pondasi diri yang kuat agar tahan terhadap permasalahan yang akan muncul.

Melangkah Meraih Mimpi

Kalau begitu, sebenarnya persoalan mendasarnya apa? Bagi saya, persoalan ini saya sebut sebagai beratnya langkah pertama. Biar saya ilustrasikan. Ibaratkan seorang bayi yang baru mulai berjalan dengan kedua kakinya, apa yang dapat dibayangkan? Pastilah bagaimana ia menyeimbangkan tubuh dengan tulang-tulang dan sendi yang belum kuat, pastilah ia akan berkali-kali jatuh dulu. Pastilah ia tampak begitu payah dibandingkan dengan kita sendiri. sebab memang ia baru saja akan melakukan langkah pertamanya. Seorang bayi, perlu membiasakan diri dengan kedua kakinya sehingga berangsur-angsur kaki tersebut kokoh sehingga sanggup menopang tubuhnya. Jika melihat seorang bayi yang sedang belajar berjalan, mustahil ia akan langsung berhasil. Ia akan melewati beberapa tahapan, ia akan butuh waktu sebelum pada akhirnya mampu menggerakkan kakinya dan melangkah sesuka hatinya. Bukan hanya melangkah, pun berlari.

Hal ini sama seperti bagaimana kita memulai setiap langkah kita dalam menggapai angan-angan. Semuanya hanya akan terasa begitu sulit di langkah pertamanya. Semuanya hanya masalah waktu. Kesulitan yang dirasa hanya sementara. Cobalah tetap fokus. Ingat sebuah nasehat lama “one million of journey starts from one step”, bahwa perjalanan yang jauh sejatinya dimulai dari satu langkah pertama.

Dengan memahami ini, kita tidak perlu repot-repot berdalih ini itu untuk setiap kegagalan kita sedangkan semuanya baru saja dimulai. Seperti yang saya sampaikan tadi, hasil instan mutlak tidak ada, segalanya di dunia ini muncul tidak seketika. Maka, mulai bangun pondasi diri. Berhenti menjadikan hal-hal diluar diri sendiri sebagai faktor yang menghambat keberhasilan, ganti cara berpikir bahwa segalanya bisa dicapai selama terus membiasakan diri dan menjalani seluruh tahapan demi tahapan yang ada.

melangkah meraih mimpi

Sekarang jika menarik ingatan ke belakang, akan nampak satu dua kegagalan dan hal serba tanggung yang pernah dialami. Apakah gagal untuk mengolah minat dan bakat menjadi sebuah profesi, gagal untuk memulai bisnis. Gagal dalam bidang-bidang tertentu yang sebenarnya menjadi kesukaan pribadi. Gagal dalam asmara, eh. Ikut satu kegiatan, terus bosan, ganti kegiatan yang lain. Bosan lagi. Akhirnya tidak punya kegiatan. Fokusnya buyar. Jadinya tanggung. Sia-sia. Terlepas dari faktor-faktor tertentu, coba tanyakan pada diri sendiri, apakah kita sudah benar-benar maksimal pada awalnya dan fokus mencurahkan diri disana?

Sedangkan jika saja sedari dulu memahaminya, lalu mulai menata dalam diri sendiri dan tetap berkonsentrasi mengejar segala yang ingin dicapai, saat ini hasilnya mungkin sudah mulai tampak.

Namun, itu semua telah berlalu. Seberapa parahpun penyesalannya. Sekaranglah waktunya untuk kembali memulai dari awal, dan belum terlambat untuk itu. Pikirkan satu hal yang ingin diraih, dan lekas ambil langkah pertama untuk memulainya. Berhenti untuk menunda. Lakukan perlahan-lahan dan nikmatilah setiap detik yang dilewati. Toh paling tidak, merasa bahagia melakukan apapun dari hati yang terdalam jauh lebih penting ketimbang tertekan oleh hidup yang singkat ini.

Juga, tak ada salahnya mencoba banyak hal, dan berusaha meraih semuanya, yang penting sadar apa yang menjadi prioritas, sehingga tidak akan tanggung-tanggung. Dari banyak hal yang nantinya dicoba, perlahan-lahan akan tahu juga mana yang cocok untuk dilanjutkan. Sementara jika dirasa tidak cocok, segera hentikan agar tidak buang-buang waktu.