Linguapreuner Indonesia

mengabadikan perenungan dalam kata-kata.

Sunday, April 14, 2019

Apa Karena Pilpres, Netizen Harus Berkomentar Tanpa Ada Penghormatan Pada Bahasa?


Saya kok rasanya makin jengah sama kondisi jelang pemilu yang semakin dekat. Khususnya jelang pilpres. Tinggal nunggu hari, kan? Ya sebagai warga negara Indonesia, harapan saya tentulah yang terbaik buat pemerintahan ke depannya. 

Saya ngomong tulus loh, bukan gara-gara si anu si itu. Musti ini. Musti itu.
Eh kok, kayak lagu zamrud.

pemilihan umum

Jadi gini, saya kok merasakan skhir-akhir ini, atau saya yang kurang update, kalau adu opini di media sosial terhadap para kandidat pilpres tampak semakin santer, semakin gencar, dan semakin memanas. Opini yang sedang berusaha dibangun umumnya dikemas lewat tulisan, video, foto, tautan halaman situs berita, meme, sampai tangkapan layar ponsel pintar. Memang sih, ntar lagi pilpres, dan sepertinya pilpres itu benar-benar menjadi kontestasi. Sehingga kedua belah pihak kudu mengerahkan segala daya dan upaya. Semuanya demi sebuah kemenangan. 

By the way pemilu itu, kontestasi, kompetisi, ajang, atau penentuan nasib bangsa ke depannya sih? Hayoo yang mana hayoo…

Eniwei gini, okelah postingan itu sebagai salah satu cara seorang pendukung mengekspresikan dukungannya terhadap kandidat favorit. Toh itu juga bagian dari ikhtiar siapa tahu bisa bikin yang lain kepincut juga. Hanya yang disayangkan kalau buat saya, adalah kolom komentar yang dipenuhi beragam reaksi dari para netizen. Bagi saya secara pribadi, ada yang benar-benar perlu dibenahi dari sikap netizen Indonesia berkomentar.

Dalam sebuah postingan sebut sajalah acara kampanye salah satu paslon, agendanya doa bersama. Acaranya riuh plus rame banget karena para pendukung yang hadir ingin melihat langsung sosok paslon yang dielu-elukan itu.

komentar netizen

Postingan macam gitu pasti banyak yang gatel pengen komen dong. Utamanya yang dari kubu sebelah. Pendukung kandidat satunya. Nggak pake lama deh sejak postingannya dibagikan, langsung bakal muncul komentar-komentar bernada pedas, kritikan tajam, olok-olok, sehingga tak tampak cerminan  demokrasi yang dewasa dari situ. Sebaliknya, hanya sekelumit saja yang akan memberi komentar dengan bahasa kalem, lebih beradab, serta lebih berbudaya.

Ya paling-paling pendukung paslon yang ada di postingan. Biar keliatan tenang.  

Ini membuat saya heran apakah mesti segitunya berkomentar. Maksud saya, kita boleh saja menjadi pendukung salah satu paslon. Tapi itu tidak otomatis merasa tidak suka pada satu paslon dong? Seakan meletakkan dukungan didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka. Kan, tidak berimbang gitu loh. Boleh sajalah mendukung satu kandidat, tapi ya biasa aja sama kandidat satunya. Ini kan kesan yang saya tangkap dari komentar-komentar di medsos tersebut. Membuat saya dilanda kebimbangan mau memihak yang mana, gara-gara para pendukung tiap kandidat yang begitu menggebu atas dasar perasaan, sampai yang lebih sering tampak bukannya citra positif malah keburukan demi keburukan dari masing-masing kandidat itu. Aib. Nyalon cuma buat ditunjukkin aibnya, mending ikut acara K*rma deh. Tambah lagi situasi jelang pilpres pun jadi sensitif. Situasi sensitif itu jangan-jangan buah komentar yang provokatif, bukannya semata karena tendensi dukungan.  Be grown up dong, gaes.  

Jadi tiap iseng baca-baca komentar postingan seputar pilpres di medsos, saya pun udah bisa nebak duluan pasti ada yang nada-nadanya sumbang dari netizen, minim, kalau boleh disebut tidak ada, olah bahasa yang greget, apalagi berbobot, ataupun pemilihan diksi yang lebih elegan untuk disampaikan. Justru yang beginian misalnya ‘ih, nggak becus tu calon. ngabisin duit rakyat mulu.’ Atau ‘alah nggak bisa bikin rakyat sejahtera kok berani-beraninya mencalonkan diri. Situ waras?’. Atau gini ‘awas, dia keturunan itu tuh (sensor)…’, ‘tukang janji palsu’, ‘pengkhiat bangsa (wew)’, dan banyak lagi. apakah wajar seperti itu? Saya pikir tidak.

Cara berkomentar seperti ini seolah menunjukkan tidak adanya respek pada sosok yang akan memimpin di negeri ini. Yang nantinya menjadi harapan segenap bangsa untuk perubahan yang lebih signifikan. Pasalnya, lha masih calon loh udah segitu kerasnya komentar bahkan hujatan. Bagaimana sekiranya saat menjabat? Bisa habis tuh orang. Stres berkepanjangan.

mencari pemimpin

Negara ini luas, boi. Kita memang berharap sosok pemimpin yang mampu menghadirkan perubahan itu, namun menggantungkan semuanya pada seorang pemimpin tentu berat. Sedikit saja coba kita juga mencoba merasa perlu andil untuk menciptakan perubahan itu. Semata-mata agar tidak terlalu larut ketika merasa kecewa pada pemimpin yang menjabat. Belum ada sejarahnya pemimpin di negeri ini terbebas dari kritikan akibat ketidakpuasan masyarakatnya. Semua itu perlu dimulai. Ini bukan  soal siapa yang layak memimpin, tapi bagaimana kita juga bisa ikut berperan. Gitu kan?

Maka saya tekankan disini, saya bukannya pengen sok pinter, atau sok paling tahu, sok kritis apalagi baperan gegara ngerasa paslon favorit saya dibully mulu. Bukan, boi. Tapi karena komentar-komentar yang lazim tampak di medsos juga telah menunjukkan betapa kurangnya penghargaan terhadap bahasa Indonesia. bahasa tercinta ini. Masa nggak ingat dulu pernah ditanya, bahasa indonesia itu adalah?

Bahasa persatuan.
Lah kalau bahasa persatuan lantas buat apa dipake mencaci-maki, yang berpotensi memecah belah, hanya demi sebuah bentuk dukungan? Persatuan apa yang dikehendaki? Bersatu dalam kehancuran, gitu? Ih, gemes saya.

Seenggak-enggaknya, kalau memang berat mau ngasi respek ke kandidat yang tidak didukung, kasilah respek sama bahasa persatuan ini. Bahasa Indonesia ini. Cobalah menempatkan posisi bahasa dalam konteksnya yang sesuai. Karena menurut saya itulah cara menempatkan martabat bangsa ditempat yang sebenar-benarnya. Sekarang ini, bahasa semakin hancur pemaknaannya, semakin enggak karuan penggunaannya, ya gara-gara kita juga, si native speaker yang abai sama nasib bahasanya. Kita nggak perlulah mencederai lebih jauh nilai-nilai bahasa Indonesia, apalagi gara-gara musim pemilihan. Karena kalau sampai itu terjadi, identitas diri bangsa juga terancam pudar secara berangsur-angsur. Seperti fenomena yang terjadi pada waktu Ujian Akhir Nasional (UAN), ketika para siswa cenderung lebih keder sama mata ujian Bahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris. Lha kalau sudah begini, masih kurang tersindir apa. Kelihatan banget kalau kurang menghargai bahasa sendiri. tidak nasionalis. 

No comments:

Post a Comment