Saya kok rasanya makin jengah
sama kondisi jelang pemilu yang semakin dekat. Khususnya jelang pilpres.
Tinggal nunggu hari, kan? Ya sebagai warga negara Indonesia, harapan saya
tentulah yang terbaik buat pemerintahan ke depannya.
Eh kok, kayak lagu zamrud.
Jadi gini, saya kok merasakan skhir-akhir
ini, atau saya yang kurang update, kalau adu opini di media sosial terhadap
para kandidat pilpres tampak semakin santer, semakin gencar, dan semakin
memanas. Opini yang sedang berusaha dibangun umumnya dikemas lewat tulisan,
video, foto, tautan halaman situs berita, meme, sampai tangkapan layar ponsel
pintar. Memang sih, ntar lagi pilpres, dan sepertinya pilpres itu benar-benar
menjadi kontestasi. Sehingga kedua belah pihak kudu mengerahkan segala daya dan
upaya. Semuanya demi sebuah kemenangan.
Eniwei gini,
okelah postingan itu sebagai salah satu cara seorang pendukung mengekspresikan
dukungannya terhadap kandidat favorit. Toh itu juga bagian dari ikhtiar siapa
tahu bisa bikin yang lain kepincut juga. Hanya yang disayangkan kalau buat
saya, adalah kolom komentar yang dipenuhi beragam reaksi dari para netizen. Bagi
saya secara pribadi, ada yang benar-benar perlu dibenahi dari sikap netizen
Indonesia berkomentar.
Dalam sebuah postingan
sebut sajalah acara kampanye salah satu paslon, agendanya doa bersama. Acaranya
riuh plus rame banget karena para pendukung yang hadir ingin melihat langsung
sosok paslon yang dielu-elukan itu.
Postingan
macam gitu pasti banyak yang gatel pengen komen dong. Utamanya yang dari kubu
sebelah. Pendukung kandidat satunya. Nggak pake lama deh sejak postingannya
dibagikan, langsung bakal muncul komentar-komentar bernada pedas, kritikan
tajam, olok-olok, sehingga tak tampak cerminan demokrasi yang dewasa dari situ. Sebaliknya,
hanya sekelumit saja yang akan memberi komentar dengan bahasa kalem, lebih
beradab, serta lebih berbudaya.
Ya paling-paling
pendukung paslon yang ada di postingan. Biar keliatan tenang.
Ini membuat
saya heran apakah mesti segitunya berkomentar. Maksud saya, kita boleh saja
menjadi pendukung salah satu paslon. Tapi itu tidak otomatis merasa tidak suka
pada satu paslon dong? Seakan meletakkan dukungan didasarkan pada perasaan suka
atau tidak suka. Kan, tidak berimbang gitu loh. Boleh sajalah mendukung satu
kandidat, tapi ya biasa aja sama kandidat satunya. Ini kan kesan yang saya
tangkap dari komentar-komentar di medsos tersebut. Membuat saya dilanda
kebimbangan mau memihak yang mana, gara-gara para pendukung tiap kandidat yang
begitu menggebu atas dasar perasaan, sampai yang lebih sering tampak bukannya
citra positif malah keburukan demi keburukan dari masing-masing kandidat itu.
Aib. Nyalon cuma buat ditunjukkin aibnya, mending ikut acara K*rma deh. Tambah lagi
situasi jelang pilpres pun jadi sensitif. Situasi sensitif itu jangan-jangan
buah komentar yang provokatif, bukannya semata karena tendensi dukungan. Be grown up dong, gaes.
Jadi tiap iseng
baca-baca komentar postingan seputar pilpres di medsos, saya pun udah bisa
nebak duluan pasti ada yang nada-nadanya sumbang dari netizen, minim, kalau
boleh disebut tidak ada, olah bahasa yang greget, apalagi berbobot, ataupun pemilihan
diksi yang lebih elegan untuk disampaikan. Justru yang beginian misalnya ‘ih,
nggak becus tu calon. ngabisin duit rakyat mulu.’ Atau ‘alah nggak bisa bikin
rakyat sejahtera kok berani-beraninya mencalonkan diri. Situ waras?’. Atau gini
‘awas, dia keturunan itu tuh (sensor)…’, ‘tukang janji palsu’, ‘pengkhiat
bangsa (wew)’, dan banyak lagi. apakah wajar seperti itu? Saya pikir tidak.
Cara berkomentar
seperti ini seolah menunjukkan tidak adanya respek pada sosok yang akan
memimpin di negeri ini. Yang nantinya menjadi harapan segenap bangsa untuk
perubahan yang lebih signifikan. Pasalnya, lha masih calon loh udah segitu
kerasnya komentar bahkan hujatan. Bagaimana sekiranya saat menjabat? Bisa habis
tuh orang. Stres berkepanjangan.
Negara ini
luas, boi. Kita memang berharap sosok pemimpin yang mampu menghadirkan
perubahan itu, namun menggantungkan semuanya pada seorang pemimpin tentu berat.
Sedikit saja coba kita juga mencoba merasa perlu andil untuk menciptakan
perubahan itu. Semata-mata agar tidak terlalu larut ketika merasa kecewa pada
pemimpin yang menjabat. Belum ada sejarahnya pemimpin di negeri ini terbebas
dari kritikan akibat ketidakpuasan masyarakatnya. Semua itu perlu dimulai. Ini
bukan soal siapa yang layak memimpin,
tapi bagaimana kita juga bisa ikut berperan. Gitu kan?
Maka saya
tekankan disini, saya bukannya pengen sok pinter, atau sok paling tahu, sok
kritis apalagi baperan gegara ngerasa paslon favorit saya dibully mulu. Bukan, boi.
Tapi karena komentar-komentar yang lazim tampak di medsos juga telah
menunjukkan betapa kurangnya penghargaan terhadap bahasa Indonesia. bahasa
tercinta ini. Masa nggak ingat dulu pernah ditanya, bahasa indonesia itu
adalah?
Bahasa persatuan.
Lah kalau
bahasa persatuan lantas buat apa dipake mencaci-maki, yang berpotensi memecah
belah, hanya demi sebuah bentuk dukungan? Persatuan apa yang dikehendaki?
Bersatu dalam kehancuran, gitu? Ih, gemes saya.
Seenggak-enggaknya,
kalau memang berat mau ngasi respek ke kandidat yang tidak didukung, kasilah
respek sama bahasa persatuan ini. Bahasa Indonesia ini. Cobalah menempatkan
posisi bahasa dalam konteksnya yang sesuai. Karena menurut saya itulah cara
menempatkan martabat bangsa ditempat yang sebenar-benarnya. Sekarang ini,
bahasa semakin hancur pemaknaannya, semakin enggak karuan penggunaannya, ya
gara-gara kita juga, si native speaker yang abai sama nasib bahasanya. Kita
nggak perlulah mencederai lebih jauh nilai-nilai bahasa Indonesia, apalagi
gara-gara musim pemilihan. Karena kalau sampai itu terjadi, identitas diri
bangsa juga terancam pudar secara berangsur-angsur. Seperti fenomena yang
terjadi pada waktu Ujian Akhir Nasional (UAN), ketika para siswa cenderung
lebih keder sama mata ujian Bahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris. Lha kalau
sudah begini, masih kurang tersindir apa. Kelihatan banget kalau kurang
menghargai bahasa sendiri. tidak nasionalis.
No comments:
Post a Comment