Menjalin hubungan asmara yang
dapat bertahan untuk waktu yang lama, pastilah menjadi keinginan siapapun, tak
terkecuali saya. Perasaan bahagia itu begitu membuncah kala menghabiskan waktu dalam kebersamaan yang
hangat, ditambah pasangan yang mampu untuk saling menjaga perasaan satu sama
lain, serta keharmonisan yang terus dihadirkan kendati masalah dalam sebuah
hubungan tak bisa dielakkan.
Namun, sebenarnya bukan persoalan
seberapa berat permasalahan yang dihadapi. Selama hal itu wajar dan tidak
terlampau prinsipil, seperti persoalan orang ketiga, tidak ada toleransi untuk
itu. Melainkan mengenai bagaimana
menyikapinya dengan berimbang tanpa perlu membuat kecewa perasaan pasangan yang
nantinya mempengaruhi kualitas kasih sayang dalam diri pasangan kita maupun
diri sendiri, membuatnya berubah sikap dan menurunkan kadar perasaannya.
Mungkin kita pernah sekali atau
dua mendapatkan cerita dari teman, sahabat, keluarga, atau darimanapun mengenai
hubungan asmara yang tidak dapat dilanjutkan lagi lantaran peliknya sebuah
masalah. Meskipun menurut pandangan kita hal itu tampak sangat sepele,
sedangkan bagi yang mengalami pada akhirnya tidak menemukan jalan keluar lalu
sepakat memilih mengakhiri saja hubungan yang dengan susah payah sudah dibangun
tersebut.
Mau bagaimana lagi. Mungkin itu
keputusan terbaik untuk semuanya. Kemudian mulailah muncul dampak atas
kegagalan menjalani sebuah hubungan. Seperti perasaan yang terluka dan tersakiti.
Rasa kekecewaan mendalam, sakit hati yang berlarut-larut, sampai trauma dan
memilih sendiri entah sampai kapan, menutup rapat-rapat perasaan itu. Situasi
itu tentu begitu menyiksa dan bukan tidak mungkin mengganggu aktifitas pribadi
sehingga hidup menjadi tidak stabil lagi. Sebab perasaan terdalamlah yang
dipaksa menghadapi kenyataan pahit tersebut.
Yakinlah, tak ada orang yang
berharap untuk gagal dalam hubungan asmaranya. Dengan semakin bertumbuhnya seseorang,
seiring bertambahnya pula usia, akan tiba masanya ketika perasaan tersebut memerlukan
tempat untuk berlabuh. Ada tujuan akhir dari sebuah perasaan berupa ikatan
sakral pernikahan, hidup berumah tangga hingga akhir usia. Namun sebelum sampai
pada jenjang setinggi itu, umumnya seseorang akan mencoba menjajal perasaannya
sekali maupun berkali-kali ke sosok yang membuatnya jatuh hati. Mencoba untuk
berada pada posisi dimana ia membangun sebuah kecocokan, belajar membangun
komitmen, menata perasaannya, dan sebagainya.
Walau ujung-ujungnya miris juga
kalau mendengar ucapan “ternyata cuma jagain jodohnya orang”, akibat waktu lama
yang dihabiskan dalam hubungan ternyata kandas tanpa tersisa, dan
kalimat-kalimat senada lainnya lantaran hubungan berakhir, akan tetapi biarlah
hal tersebut dijadikan pembelajaran untuk menjadi sosok yang lebih baik sampai
pada waktunya bertemu dengan orang yang tepat.
Maka, pada tulisan ini saya ingin
membahas satu hal yang perlu dipahami agar hubungan asmara dapat bertahan untuk
waktu yang lama.
Singkat saja. Intinya cukup
sederhana, yaitu setiap pasangan harus bisa mengesampingkan egonya
masing-masing. Kedengaran sesederhana itu, mudah diucapkan, bahkan sudah
terlalu sering dibahas dan membuatnya terkesan klise. Akan tetapi, mengesampingkan
ego pada praktiknya bukanlah hal mudah. Membutuhkan pembiasaan dan pemahaman
yang baik atas kondisi yang tengah dihadapi dalam sebuah hubungan yang sudah
dijalani.
Begini, coba ingat-ingat pada
saat sebuah hubungan masih tergolong baru dibangun. Ada nyala perasaan yang
kuat disana. Pada tahapan baru memulai hubungan ini, jika boleh dibilang, tiap
pasangan masih dalam upaya untuk saling mengenal lebih jauh dan menentukan arah
hubungannya akan kemana, sehingga semuanya akan tampak begitu manis dan
menyenangkan. Oleh karena itu wajar saja ketika ada satu dua masalah tapi tidak
disikapi secara agresif, seperti tersinggung maupun emosional. Seorang pasangan
masih mampu menahan gejolak emosi itu timbul dan memberi pemakluman-pemakluman
terhadap masalah yang terjadi. Namanya masih baru.
Kemudian seiring berjalannya
waktu, saat kejemuan berangsur-angsur muncul, ditambah lagi faktor diluar
hubungan itu sendiri, seperti beban atas masalah pribadi, yang mempengaruhi
kualitas perasaan kita terhadap pasangan. Pikiran menjadi sedikit tealihkan untuk tetap rukun
dan akur. Sehingga ada kemungkinan apabila terjadi persinggungan diantara
keduanya, responnya pun bisa menjadi lebih agresif, tidak seperti saat
awal-awal hubungan. Muatan emosi yang tercipta pada dasarnya bukan mutlak
tercipta dari sikap dan perilaku pasangan saja, melainkan juga didorong oleh
gejolak diri sendiri yang muasalnya dari keadaan sekeliling, yang semuanya dari
luar hubungan yang dijalani bersama pasangannya.
Kondisi inilah yang harus disadari.
Kondisi inilah yang butuh menjadi pengertian bersama sehingga sanggup menekan
ego hanya demi harmonisnya hubungan ke depan.
Kuncinya untuk tetap dapat
berkesadaran dalam bertindak dan untuk mampu menekan luapan emosi tersebut
adalah dengan mengingat-ingat bahwa bersama pasangan tentu ada hari baik yang
pernah dijalani, pun hari buruk juga ada, namun itu semua tidak akan selamanya
berlangsung. Terus ingat-ingat apa yang telah dilalui bersama, canda-tawa,
caranya memberi perhatian, juga apa yang telah sama-sama dikorbankan dalam
hubungan akan menjadi sumber daya tak terbatas ketika perasaan yang kadarnya
terlah menurun perlu untuk dipompa agar naik kembali. Bagi saya, menciptakan
kebahagiaan sederhana yang justru bisa didapatkan tiap hari bersamanya, jauh
lebih penting ketimbang kebahagiaan besar yang mungkin sampai membuat terharu
pasangan, namun sangat jarang didapatkan.
Sebagai penutup, ingin saya
sampaikan bahwa status seseorang yang menjadi pasangan, tentulah berbeda dengan
status seseorang sebagai teman, sahabat, maupun sekedar kenalan sambil lalu.
Maka, dengan status tersebut harusnya membuat kita paham bagaimana membedakan
cara berlaku pada masing-masing.
No comments:
Post a Comment