Linguapreuner Indonesia

mengabadikan perenungan dalam kata-kata.

Friday, April 12, 2019

Cerita Absurd Pernikahan Dan Mas Kawin Kekinian



Zaman gini nih pernikahan itu sepertinya bukan semata-mata soal komitmen. Bagi sebagian kalangan, sebut saja kalangan milenial, kreatifitas pernikahan juga dirasa perlu untuk menambah kesakralan prosesi yang seyogyanya hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Kayaknya sih. Maklumlah saya cuma pengamat, tanpa pengalaman empiris.
Alias jombloh. Umh..

Salah satu bentuk kreatifitas dalam pernikahan kekinian adalah keunikan mahar atau mas kawin yang diberikan saat prosesi akad. Mulai dari mas kawin sejumlah uang dengan nominal tanggal pernikahan, tanggal lahir, tanggal apalagi ya…. Banyak deh. Sampai ke benda-benda yang diluar dugaan. Sandal jepit, misalnya.

Ya meskipun gitu, paling oke memang kalau bisa menaklukkan hati si dia pakai Bismillah.
Sebenarnya mahar atau mas kawin ini adalah simbol bahwa si gadis telah diserahkan dari orang tuanya kepada mempelai pria yang meminangnya untuk menjalani kehidupan bersama, namun seolah ada gejolak kuat yang muncul dalam diri si pria untuk memberikan sesuatu yang ‘hanya diberikan olehnya seorang’ demi memastikan pernikahan tersebut akan lain dari pada yang lain.

Apa mungkin gara-gara perempuan yang suka bilang “semua lelaki sama saja”, ataukah ini bagian dari mengilhami lirik sebuah lagu lama yang isinya “tidak semua laki laki…. ” lanjutin sendiri ya.
Hmm.. misterius. Tapi baiklah. Membicarakan pernikahan di Indonesia memang selalu menyisakan cerita untuk dibahas. Kadang sampai tidak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi. Kita mungkin masih ingat tentang pernikahan anak remaja dengan seorang nenek-nenek. Ataupun pernikahan sepasang remaja yang usianya masih belasan tahun, yang menikah gara-gara takut tidur sendirian. Hingga pernikahan seorang pemuda Indonesia dengan gadis bule cantiknya bikin laki-laki lain nyindir suaminya. Emang dasar, mblo..mblo..

Tak ketinggalanlah pernikahan yang dihadiri mantan beserta reaksinya. Sabar ya, ntan.
Setiap tahunnya entah berapa banyak pernikahan berlangsung di Indonesia. Jumlahnya tentu agak banyak dibanding negara lain, males riset jadi main aman nih. Kalau sudah begitu, otomatis juga akan berbanding lurus dengan jumlah kelahiran.

Jumlah kelahiran berarti bertambahnya manusia di bumi Indonesia ini. Manusia tentu butuh tempat tinggal, sehingga lahan untuk membangun hunian pun harus tersedia. Kalau tidak, wah gawat, bisa tinggal sembarangan kita.

Juga, akibat dari semakin bertambahnya jumlah populasi, akan berdampak pada ketersediaan lahan, yang bukan hanya untuk tempat tinggal, ataupun untuk menghasilkan bahan pangan, tetapi juga untuk tempat peristirahatan terakhir, alias area makam.
Mulai serem nih.

Coba renungkan sejenak, ketersediaan lahan di Indonesia sepertinya semakin sempit dan terbatas. Di kota-kota besar misalnya, pembangunan semakin gencar dilaksanakan. Penduduknya pun kian padat. Alhasil, kalau ada peristiwa kematian, urusan lahan di kawasan pemakaman pun sampai harus menyewa segala. Padahal sejatinya penguburan jenazah merupakan perihal urgent (bacanya biasa aja) dan harus disegerakan. Kebayang jadinya semisal giliran saya di tahun berapa gitu, pas ajal menjemput dan wilayah Indonesia semakin dipadati oleh penduduk dan segala infrastrukrurnya. Aduuh, bisa-bisa enggak kebagian kuburan saya. Kaplingan abis, bos. Gimana malaikat mau minta pertanggung jawaban saya, coba? Saya ini kan….. iya sudahlah.


Atas keresahan inilah, saya pun menimbang-nimbang rencana pernikahan yang memberikan jaminan hidup dan juga di penghujung usia. Dengan segenap keyakinan, saya memutuskan untuk mempersembahkan mas kawin terbaik dengan hashtag ‘hanya saya yang bisa memberikannya’ versi saya.

Gagasan saya ini pun saya uji coba kan pada kekasih saya. Ternyata pada awalnya tidak semudah bayangan saya yaitu seketika ia luluh dan mendambakan saya karena dianggap sosok lelaki idaman.
Alih-alih itu, saya malah diputusin. Ugh, gara-gara hal lain, kok.
Curhat alert!

Saya pun kembali pada perenungan saya, berusaha untuk move on dan mencari penggantinya. Tentu saja yang bisa diajak pada hubungan yang lebih serius. Nikah bukan perkara murah, euy, di usia saya yang sudah tergolong ideal menurut undang-undang, saya mendingan lekas-lekas melepas status lajang, sebelum biayanya makin membengkak.

Seperti kata iklan properti hari minggu yang mentereng di stasiun tipi swasta, “harga naik hari senin”. Jangan-jangan biaya nikah juga naik tiap senin.
Saya kemudian memikirkan strategi untuk memastikan bahwa niatan saya untuk mengajak seorang gadis ke pelaminan berpotensi diterima lebih besar ketimbang ditolak. Caranya tentu saja, menaklukkan hati camer.

Dengan menggunakan cocoklogi tingkat dewa saya pun menghubung-hubungkan gagasan saya untuk menikah dengan mas kawin ‘spesial’ ala milenial. Mengapa saya optimis untuk menyampaikannya ke orangtua si pacar, ya karena mereka pasti tidak rela hidup anaknya bakal luntang-lantung, apalagi entar pas ajal menjemput. Pas!

Singkatnya, seorang gadis pun saya luluhkan hati saya dengan kalimat “aku tak punya kenyataan untuk dibagi, aku hanya punya mimpi untuk diwujudkan.” Modal ilmu kuliah di sastra dulu, rumusan-rumusan kalimat maut pun saya kuasai, kita pun jadian. Yes. Memang fakta kalau anak sastra itu calon lelaki idaman.

Lalu tibalah saat dimana saya harus sowan ke rumah si cewek, yang juga dalam rangka ketemu orangtuanya.

Setelah pertemuan pertama untuk sesi berkenalan, berbincang, tanya ini-itu, pada suatu pertemuan saya utarakan niat, bukan kebarat apalagi ketimur, untuk serius dengan anak perempuan kesayangan bapak ibunya ini.

Seperti saya bilang tadi, kalau saya punya gagasan untuk pernikahan yang menjamin kehidupan di dunia hingga ajal menjemput, niatan tersebut saya uraikan pada mereka, plus mas kawin yang saya janjikan.

Namun, siapa sangka kalau ayahnya pun pandai berdiplomasi, dengan bilang “akan kami pertimbangkan dulu.”

Aghhh..
Usai obrolan itu, pacar saya bertanya
“Kamu bilang apa ke papa?”
“Aku bilang mau ngelamar kamu?”
Dia mesem-mesem tipis.
“Terus apalagi?” katanya
“Aku mau kasi mas kawin spesial ke kamu.” Jawab saya.
Matanya mulai berbinar dengan ekspektasi.
“Ah, kamu so sweet. Mas kawin spesialnya apa?”
“Tanah.” Jawab saya singkat. Ia semakin sumringah.
“Kamu mau buatin aku rumah, ya? Senengnya akuh.”
Gantian saya yang kaget sama reaksinya. Karena cowok harus jujur, saya pun meluruskan jawabannya.

“Salah. Tanah buat mas kawin nanti, itu tanah untuk dibuatin pemakaman, kok.” Biar sedikit manis, saya pun menambahkan, “aku ingin dikubur disampingmu.”
Ceilee….

Segala jurus dan kelihaian saya pergunakan untuk memenangkan momen yang mulai tegang ini. Namun celakanya, pacar saya malah berkata lain, seperti kenyataan yang juga suka berkata lain.

“Kamu pengen aku cepat mati ya? Terus kamu bisa nikah lagi. Kamu emang dasar laki-laki. Kamu mau poligami, kan? Tapi kamu takut aku gak setuju, terus kamu bakal nyiapin rencana supaya aku mati, gitu? Dasar. Laki-laki itu sama aja.”
Jleb! Saya senewen dibuatnya.

Nampaknya,  masih lebih ampuh meminang calon istri dengan Bismillah.

No comments:

Post a Comment