Zaman gini nih pernikahan itu
sepertinya bukan semata-mata soal komitmen. Bagi sebagian kalangan, sebut saja
kalangan milenial, kreatifitas pernikahan juga dirasa perlu untuk menambah kesakralan
prosesi yang seyogyanya hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Kayaknya sih.
Maklumlah saya cuma pengamat, tanpa pengalaman empiris.
Alias jombloh. Umh..
Salah satu bentuk kreatifitas
dalam pernikahan kekinian adalah keunikan mahar atau mas kawin yang diberikan
saat prosesi akad. Mulai dari mas kawin sejumlah uang dengan nominal tanggal
pernikahan, tanggal lahir, tanggal apalagi ya…. Banyak deh. Sampai ke
benda-benda yang diluar dugaan. Sandal jepit, misalnya.
Ya meskipun gitu, paling oke
memang kalau bisa menaklukkan hati si dia pakai Bismillah.
Sebenarnya mahar atau mas kawin
ini adalah simbol bahwa si gadis telah diserahkan dari orang tuanya kepada
mempelai pria yang meminangnya untuk menjalani kehidupan bersama, namun seolah
ada gejolak kuat yang muncul dalam diri si pria untuk memberikan sesuatu yang
‘hanya diberikan olehnya seorang’ demi memastikan pernikahan tersebut akan lain
dari pada yang lain.
Apa mungkin gara-gara perempuan
yang suka bilang “semua lelaki sama saja”, ataukah ini bagian dari mengilhami
lirik sebuah lagu lama yang isinya “tidak semua laki laki…. ” lanjutin sendiri
ya.
Hmm.. misterius. Tapi baiklah.
Membicarakan pernikahan di Indonesia memang selalu menyisakan cerita untuk
dibahas. Kadang sampai tidak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi. Kita
mungkin masih ingat tentang pernikahan anak remaja dengan seorang nenek-nenek.
Ataupun pernikahan sepasang remaja yang usianya masih belasan tahun, yang
menikah gara-gara takut tidur sendirian. Hingga pernikahan seorang pemuda
Indonesia dengan gadis bule cantiknya bikin laki-laki lain nyindir suaminya.
Emang dasar, mblo..mblo..
Tak ketinggalanlah pernikahan
yang dihadiri mantan beserta reaksinya. Sabar ya, ntan.
Setiap tahunnya entah berapa
banyak pernikahan berlangsung di Indonesia. Jumlahnya tentu agak banyak
dibanding negara lain, males riset jadi main aman nih. Kalau sudah begitu,
otomatis juga akan berbanding lurus dengan jumlah kelahiran.
Jumlah kelahiran berarti
bertambahnya manusia di bumi Indonesia ini. Manusia tentu butuh tempat tinggal,
sehingga lahan untuk membangun hunian pun harus tersedia. Kalau tidak, wah
gawat, bisa tinggal sembarangan kita.
Juga, akibat dari semakin bertambahnya
jumlah populasi, akan berdampak pada ketersediaan lahan, yang bukan hanya untuk
tempat tinggal, ataupun untuk menghasilkan bahan pangan, tetapi juga untuk
tempat peristirahatan terakhir, alias area makam.
Mulai serem nih.
Coba renungkan sejenak,
ketersediaan lahan di Indonesia sepertinya semakin sempit dan terbatas. Di kota-kota
besar misalnya, pembangunan semakin gencar dilaksanakan. Penduduknya pun kian
padat. Alhasil, kalau ada peristiwa kematian, urusan lahan di kawasan pemakaman
pun sampai harus menyewa segala. Padahal sejatinya penguburan jenazah merupakan
perihal urgent (bacanya biasa aja)
dan harus disegerakan. Kebayang jadinya semisal giliran saya di tahun berapa
gitu, pas ajal menjemput dan wilayah Indonesia semakin dipadati oleh penduduk
dan segala infrastrukrurnya. Aduuh, bisa-bisa enggak kebagian kuburan saya.
Kaplingan abis, bos. Gimana malaikat mau minta pertanggung jawaban saya, coba? Saya
ini kan….. iya sudahlah.
Atas keresahan inilah, saya pun
menimbang-nimbang rencana pernikahan yang memberikan jaminan hidup dan juga di
penghujung usia. Dengan segenap keyakinan, saya memutuskan untuk
mempersembahkan mas kawin terbaik dengan hashtag ‘hanya saya yang bisa
memberikannya’ versi saya.
Gagasan saya ini pun saya uji
coba kan pada kekasih saya. Ternyata pada awalnya tidak semudah bayangan saya
yaitu seketika ia luluh dan mendambakan saya karena dianggap sosok lelaki
idaman.
Alih-alih itu, saya malah
diputusin. Ugh, gara-gara hal lain, kok.
Curhat alert!
Saya pun kembali pada perenungan
saya, berusaha untuk move on dan mencari penggantinya. Tentu saja yang bisa
diajak pada hubungan yang lebih serius. Nikah bukan perkara murah, euy, di usia
saya yang sudah tergolong ideal menurut undang-undang, saya mendingan
lekas-lekas melepas status lajang, sebelum biayanya makin membengkak.
Seperti kata iklan properti hari
minggu yang mentereng di stasiun tipi swasta, “harga naik hari senin”.
Jangan-jangan biaya nikah juga naik tiap senin.
Saya kemudian memikirkan strategi
untuk memastikan bahwa niatan saya untuk mengajak seorang gadis ke pelaminan
berpotensi diterima lebih besar ketimbang ditolak. Caranya tentu saja,
menaklukkan hati camer.
Dengan menggunakan cocoklogi
tingkat dewa saya pun menghubung-hubungkan gagasan saya untuk menikah dengan
mas kawin ‘spesial’ ala milenial. Mengapa saya optimis untuk menyampaikannya ke
orangtua si pacar, ya karena mereka pasti tidak rela hidup anaknya bakal
luntang-lantung, apalagi entar pas ajal menjemput. Pas!
Singkatnya, seorang gadis pun saya
luluhkan hati saya dengan kalimat “aku tak punya kenyataan untuk dibagi, aku
hanya punya mimpi untuk diwujudkan.” Modal ilmu kuliah di sastra dulu,
rumusan-rumusan kalimat maut pun saya kuasai, kita pun jadian. Yes. Memang fakta
kalau anak sastra itu calon lelaki idaman.
Lalu tibalah saat dimana saya
harus sowan ke rumah si cewek, yang juga dalam rangka ketemu orangtuanya.
Setelah pertemuan pertama untuk
sesi berkenalan, berbincang, tanya ini-itu, pada suatu pertemuan saya utarakan
niat, bukan kebarat apalagi ketimur, untuk serius dengan anak perempuan
kesayangan bapak ibunya ini.
Seperti saya bilang tadi, kalau
saya punya gagasan untuk pernikahan yang menjamin kehidupan di dunia hingga
ajal menjemput, niatan tersebut saya uraikan pada mereka, plus mas kawin yang
saya janjikan.
Namun, siapa sangka kalau ayahnya
pun pandai berdiplomasi, dengan bilang “akan kami pertimbangkan dulu.”
Aghhh..
Usai obrolan itu, pacar saya
bertanya
“Kamu bilang apa ke papa?”
“Aku bilang mau ngelamar kamu?”
Dia mesem-mesem tipis.
“Terus apalagi?” katanya
“Aku mau kasi mas kawin spesial
ke kamu.” Jawab saya.
Matanya mulai berbinar dengan
ekspektasi.
“Ah, kamu so sweet. Mas kawin
spesialnya apa?”
“Tanah.” Jawab saya singkat. Ia
semakin sumringah.
“Kamu mau buatin aku rumah, ya?
Senengnya akuh.”
Gantian saya yang kaget sama
reaksinya. Karena cowok harus jujur, saya pun meluruskan jawabannya.
“Salah. Tanah buat mas kawin
nanti, itu tanah untuk dibuatin pemakaman, kok.” Biar sedikit manis, saya pun
menambahkan, “aku ingin dikubur disampingmu.”
Ceilee….
Segala jurus dan kelihaian saya
pergunakan untuk memenangkan momen yang mulai tegang ini. Namun celakanya,
pacar saya malah berkata lain, seperti kenyataan yang juga suka berkata lain.
“Kamu pengen aku cepat mati ya?
Terus kamu bisa nikah lagi. Kamu emang dasar laki-laki. Kamu mau poligami, kan?
Tapi kamu takut aku gak setuju, terus kamu bakal nyiapin rencana supaya aku
mati, gitu? Dasar. Laki-laki itu sama aja.”
Jleb! Saya senewen dibuatnya.
Nampaknya, masih lebih ampuh meminang calon istri dengan
Bismillah.
No comments:
Post a Comment